Seorang filsuf Yunani,
sebagaimana dikutip oleh Gie mengatakan "Nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur
tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Meninggal di usia muda,
mungkin bagi beberapa orang berarti semakin sedikit waktu bersama dengan mereka
yang kita sayangi atau semakin sedikit waktu kita untuk berbuat sesuatu bagi
kehidupan yang lebih baik. Namun meninggal di usia muda membuat kita tidak
banyak melakukan perbuatan yang tercela. Menurut hasil penelitian, usia
seseorang dikatakan muda dalam arti umur produktif adalah umur 15 dan berakhir
di usia 35 tahun. Berikut ini beberapa orang yang meninggal di usia muda
(sambungan).
10. Soe Hok Gie (1942
- 1969)
Soe Hok Gie |
Soe Hok Gie
adalah seorang aktivis Indonesia dan Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, Jurusan Sejarah Tahun 1962-1969. Ia adalah seorang anak muda yang
berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan
perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan
dengan judul Catatan Seorang Demonstran
(1983).
Soe Hok Gie lahir di Jakarta,
17
Desember 1942. Ia adalah anak keempat dari lima
bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana
yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian
dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa
Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie
sendiri adalah berasal dari provinsi
Hainan, Republik Rakyat Cina.
Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke
Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis
kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap
tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde
Baru.
Gie sangat
kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66
mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus
berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie
memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Hok Gie
dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa
Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya
(kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun
Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Juga skripsi
sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan
Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai
bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf
redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Selain itu
juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik
gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt
Whitman dalam catatan hariannya, “Now I
see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air
and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran
dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya
tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie
sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan
Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969
Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama
Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m.
Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan
Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya
pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.
Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember
sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya
mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya
perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit
sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim
dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang
begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru
lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Hok Gie meninggal di gunung
Semeru pada Tahun 1969
tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di
gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
24 Desember 1969
Gie
dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke
Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober
sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya
sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya
disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie
dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Beberapa
quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah
menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi
mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar
membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun
binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan
keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan
dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di
tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki
dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai
kedukaan…”
11. Ahmad Wahib (1942 -
1973)
Ahmad Wahib |
Ahmad Wahib lahir di Sampang, pada
9 November 1942. Ia dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai pembaharu terutama berkat catatan
harian yang diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran Islam (2004) oleh
Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba
mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran
Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara,
Douglas E. Ramage, seorang Indonesianis lulusan the University of South
Carolina menyebut Wahib sebagai salah satu pemikir baru Islam yang
revolusioner.
Wahib tumbuh
dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah
seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi ia juga
adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami secara serius
gagasan pembaharuan Muhammad Abduh. Ia menolak objek-objek kultus yang menjadi sesembahan
para leluhurnya. Objek-objek ini sangat populer dalam tradisi rakyat Madura,
seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon.
Pembahasan-pembahasan
seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada
persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan istilah “ideologi Islam”?
Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di
Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular seperti demokrasi, sosialisme dan Marxisme?
Ketertarikan kepada soal-soal ini sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam
keluarganya.
Semasa Kuliah
Yogyakarta
adalah salah satu kota yang secara intelektual dan budaya paling kaya di
Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan pribadi Wahib. Yogyakarta adalah
kota lembaga-lembaga pendidikan. Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan
kesejarahan, memiliki daya tarik yang besar, dan kenyataannya mapu menyedot
banya pelajar dari seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan
tinggi lain, baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya
tarik. Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata
Dharma, milik sebuah yayasan Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan IAIN Sunan Kalijaga.
Mukti Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa
kelompok tersebut menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga
secara reguler mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik
orang Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan
penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu kerangka yang
membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang segar.
Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan juga, dan
gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut kadang jauh dari apa
yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat provokatif.
Masa-masa
Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah
Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya
ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal
total ini, terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek
PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Ini mengantarkan Indonesia
terbentuknya Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Inilah periode gamang yang meninggalkan luka-luka
psikologis si kalangan mereka yang mengalaminya.
Semua unsur
di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan lingkungan baru,
dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara dramatis, tekanan-tekanan
baik bersifat politis maupun personal, dan pembunuhan besar-besaran yang
mengerikan lantaran gagalnya kup PKI) jelas turut menentukan berubahnya arah
pemahaman Wahib mengenai Islam. Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya
megantarkannya untuk keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah
kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3 gagalnya
kup PKI pada 30 September 1965.
Pada 1971,
Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon
reporter majalah berita mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh seorang
Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil bagian dalam
pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat membuat rancangan tema
diskusi soal teologi, poitik dan budaya yang sangat ambisisus. Sayangnya, ia
wafat tertabrak motor di Jakarta pada 30
Maret 1973.
12. Ade Irma
Suryani Nasution (1960 - 1965)A
Ade Irma Suryani (kanan) |
Ade Irma
Suryani Nasution adalah putri bungsu Jenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution
yang merupakan salah satu jendral berpengaruh pada pemerintahan Orde Lama. Ia lahir
pada 19 Februari
1960. Ade terbunuh
dalam peristiwa Gerakan 30 September yang berusaha untuk
menculik Jenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution.
Ade yang berumur 5 tahun tertembak ketika berusaha menjadi tameng ayahandanya.
Dalam peristiwa tersebut tewas juga ajudan Jenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution
yaitu Lettu. Anumerta Pierre Andreas
Tendean. Ia meninggal 6 Oktober 1965 (pada umur 5 tahun).
"Usia seseorang tidak di ukur dari berapa lama dia hidup di dunia, namun seberapa besar ia memberi pengaruh bagi orang di sekelilingnya"
---selesai---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar