Seorang filsuf Yunani, sebagaimana dikutip oleh Gie mengatakan "Nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur
tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Meninggal di usia muda, mungkin bagi beberapa orang berarti semakin sedikit
waktu bersama dengan mereka yang kita sayangi atau semakin sedikit waktu kita
untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan yang lebih baik. Namun meninggal di usia
muda membuat kita tidak banyak melakukan perbuatan yang tercela. Menurut hasil
penelitian, usia seseorang dikatakan muda dalam arti umur produktif adalah umur
15 dan berakhir di usia 35 tahun. Berikut ini beberapa orang
yang meninggal di usia muda.
1. Thomas Mattulessy / Kapitan Pattimura (1783 - 1817)
Thomas Mattulessy |
Thomas Mattulessy atau
juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon
dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8
Juni 1783.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali
terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni
Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini
adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Sebelum melakukan perlawanan
terhadap VOC, Kapitan Pattimura pernah berkarier dalam
militer sebagai mantan sersan Militer Inggris, sampai akhirnya pada tahun
1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda
yang kemudian menetapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat Maluku. Kata "Maluku" berasal dari
bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada
masa itu banyaknya kerajaan.
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar
kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur
Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah
homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di
luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna
rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan
kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam,
kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian
diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada
seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah
pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses
turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari
sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura
itu bermula. Kapitan Pattimura meninggal di Ambon, Maluku,
16 Desember 1817
(pada umur 34 tahun).
2. Raden
Adjeng Kartini (1879 - 1904)
R. A. Kartini |
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini, adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia Lahir di Jepara, Jawa
Tengah, 21
April 1879.
Kartini dikenal sebagai Pelopor Kebangkitan Perempuan Pribumi.
Raden Adjeng
Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama
(karena bukan bangsawan tinggi), sehingga mengharuskan ayahnya untuk menikah
lagi. Peraturan pada zaman kolonial mengharuskan seorang bupati harus menikah
dengan golongan bangsawan.
Ibunya
bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah
Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Kartini
adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai
usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese
Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah
karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak
mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Pada
surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan
menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen
dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan
dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan
perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku
sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan
kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama
harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang
agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi
Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas
tembok rumah.
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang
ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita.
Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan
akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski
sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun
untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang
hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat
penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke
Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik
bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada
pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya
Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.
"...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan
kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini
dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat
menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan
tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan
bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami
tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan
sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku
(yang kemudian kita kenal dengan judul “Habis
Gelap Terbitlah Terang”).
Perubahan
pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan
menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah
dengan Adipati Rembang. Kartini meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 (pada umur 25 tahun).
3. Wage Rudolf Soepratman (1903 - 1938)
W. R. Soepratman |
Wage Rudolf Soepratman adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903. Soepratman adalah anak seorang tentara.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut salah satu saudara perempuannya, Roekijem ke Makassar. Di sana ia
disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian
melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika
berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua
tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan
dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai
wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal
di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak
bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan
Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa.
Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama
lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar
akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya
yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem
juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang
membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah
mengangkat anak.
Sewaktu
tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van
Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika
tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah
Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk
menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman
tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah
lagu “Indonesia Raya”, pada waktu
itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Soepratman juga merupakan pencipta lagu ”Ibu Kita Kartini” yang kagum atas pemikiran-pemikiran Kartini dan
kemudian menginspirasinya untuk menciptakan lagu tersebut.
Pada bulan
Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres
Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah
Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28
Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu
ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental
dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada
waktu itu). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya
dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan
cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai
politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu
itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah
Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang
persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak
sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat
menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia
Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari
Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu
tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan
Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara
Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17
Agustus 1938
(pada umur 35 tahun) karena sakit.
Mereka Yang meninggal di Usia Muda (Bagian II)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian III)
Mereka Yang Meninggal di Usia Muda (Bagian IV - Selesai)
Mereka Yang meninggal di Usia Muda (Bagian II)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian III)
Mereka Yang Meninggal di Usia Muda (Bagian IV - Selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar