Seorang filsuf Yunani, sebagaimana dikutip oleh Gie mengatakan "Nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur
tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Meninggal di usia muda, mungkin bagi beberapa orang berarti semakin sedikit
waktu bersama dengan mereka yang kita sayangi atau semakin sedikit waktu kita
untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan yang lebih baik. Namun meninggal di usia
muda membuat kita tidak banyak melakukan perbuatan yang tercela. Menurut hasil
penelitian, usia seseorang dikatakan muda dalam arti umur produktif adalah umur
15 dan berakhir di usia 35 tahun. Berikut ini beberapa orang
yang meninggal di usia muda (sambungan).
4. Soedirman
(1916 - 1950)
Soedirman |
Soedirman atau Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman
lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari
1916. Soedirman dibesarkan dalam
lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang
pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan
diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang
yang masih merupakan saudara dari Siyem.
Soedirman
memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di
organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Ketika zaman
pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah
Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang. Setelah
menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih
menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Dalam sejarah perjuangan Republik
Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31
tahun ia telah menjadi seorang jenderal.
Soedirman
dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada
prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat
banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri.
Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang
yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air,
bangsa, dan negara.
Perang besar
pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember
1945. Pada
Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran
melawan tentara Inggris di Ambarawa.
Pada masa
pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus
Makanan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong
rakyat dari bahaya kelaparan.
Meski
menderita sakit yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Ia berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam
kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin
memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye gerilya
tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin
Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh
perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda.
Tanggal 29 Januari tahun 1950 (pada
umur 34 tahun) Jenderal Soedirman meninggal di Magelang, Jawa Tengah karena penyakit tuberkulosis paru-paru
yang parah dan kemudian dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan
bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai
sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.
5. I
Gusti Ngurah Rai (1917 - 1946)
I Gusti Ngurah Rai |
I Gusti Ngurah Rai
atau Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, pada tanggal
30 Januari 1917.
Pada masa perang kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai memiliki
pasukan yang bernama "Ciung Wenara" yang melakukan
pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan
Margarana. (Puputan, dalam Bahasa Bali, berarti "habis-habisan", sedangkan
Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa
ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten
Tabanan, Bali).
Peristiwa Puputan
Margarana diawali ketika I
Gusti Ngurah Rai menolak bekerjasama dengan Belanda untuk mendukung pembentukan
Negara Indonesia Timur yang mencakup Bali. Penolakan ini dinilai Belanda tidak
beralasan karena Bali sudah dianggap wilayah Belanda sebagaimana hasil
perjanjian Linggajati. Namun, Ngurah Rai sendiri tetap menolak apapun
alasannya. Kemudian, ia pergi ke Yongyakarta untuk mendapatkan petunjuk dari
Pemimpin RI. Setelah mendapat penjelasan bahwa daerahnya termasuk kekuasaan
Belanda, walaupun kecewa, ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan
bekerjasama dengan pihak Belanda.
Ketika merasa kekuatannya sudah cukup. I Gusti Ngurah Rai
dan pasukannya pada 18 November 1946 mulai menyerang Belanda. Tabanan di gempur
dan dia berhasil dengan menyerahnya satu detasemen polisi lengkap dengan
senjatanya. Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Bali
dan Lombok lengkap dengan pesawat tempur untuk menghadapi pasukan I Gusti
Ngurah Rai.
Karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang dan
persenjataan yang kurang lengkap, akhirnya pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat
dikalahkan dalam pertempuran puputan atau habis-habisan di Margarana, sebelah
utara Tabanan. I Gusti Ngurah Rai meninggal pada tanggal 20 November 1946 (pada umur 29 tahun) beserta seluruh pasukanya di medan
perang.
Pemerintah Indonesia menganugerahkan
Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian
diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
6. Chairil Anwar (1922 -
1949)
Chairil Anwar |
Chairil Anwar atau yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" Lahir di Medan, 22 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar
sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak
satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya,
Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan
dunia sastra.
Penyair yang satu ini memang fenomenal dan
kontroversial. Saat pengaruh Angkatan Pujangga Baru belum surut, sejak 1942,
Chairil Anwar sudah mendobrak tata tertib berpuisi. Dalam puisi-puisinya, Chairil
memperkenalkan aliran ekspresionisme dalam sastra. Walhasil, puisi-puisinya
terkesan penuh tenaga dan radikal untuk masanya. Tengok saja puisinya yang
terkenal: “Aku”. Kendati Chairil anwar tidak pernah tamat MULO (SMP), secara
otodidak ia mendalami bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, sehingga karya-karya
para pujangga besar seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.mampu dicernanya. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Dari karya-karya orang asing itu, Chairil
lalu menerjemahkan, menyadur, bahkan membuat karya baru. Mungkin karna itulah
ia kadang dituding “penjiplak”. Jiwa patriotiknya terlihat dalam karya “Antara
Kerawang dan Bekasi”, “Diponegoro”, serta “1945”. “Doa Untuk Isa” seolah
mewakili sisi religiusnya. Adapun “Aku” mencerminkan sikap tidak peduli. Ia
memang sosok yang kompleks.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang
bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa
menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil meninggal di Jakarta, tanggal 28 April 1949 (pada
usia 27 tahun) karena penyakit TBC. Kepeloporannya diteguhkan oleh H.B. Jassin pada Tahun 1956 dalam bukunya yang
berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”.
Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian I)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian III)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian IV - Selesai)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian I)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian III)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian IV - Selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar