03 Mei 2012

Mereka Yang Meninggal di Usia Muda (Bagian II)

Seorang filsuf Yunani, sebagaimana dikutip oleh Gie mengatakan "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Meninggal di usia muda, mungkin bagi beberapa orang berarti semakin sedikit waktu bersama dengan mereka yang kita sayangi atau semakin sedikit waktu kita untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan yang lebih baik. Namun meninggal di usia muda membuat kita tidak banyak melakukan perbuatan yang tercela. Menurut hasil penelitian, usia seseorang dikatakan muda dalam arti umur produktif adalah umur 15 dan berakhir di usia 35 tahun. Berikut ini beberapa orang yang meninggal di usia muda (sambungan).

4.  Soedirman (1916 - 1950)
 
Soedirman
Soedirman atau Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem.

Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.  Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal.

Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. 

Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa.

Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Meski menderita sakit yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Ia berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda.

Tanggal 29 Januari tahun 1950 (pada umur 34 tahun) Jenderal Soedirman meninggal di Magelang, Jawa Tengah karena penyakit tuberkulosis paru-paru yang parah dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.


5.  I Gusti Ngurah Rai (1917 - 1946)

I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai atau Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, pada tanggal 30 Januari 1917.

Pada masa perang kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "Ciung Wenara" yang melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam Bahasa Bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali).

Peristiwa Puputan Margarana  diawali ketika I Gusti Ngurah Rai menolak bekerjasama dengan Belanda untuk mendukung pembentukan Negara Indonesia Timur yang mencakup Bali. Penolakan ini dinilai Belanda tidak beralasan karena Bali sudah dianggap wilayah Belanda sebagaimana hasil perjanjian Linggajati. Namun, Ngurah Rai sendiri tetap menolak apapun alasannya. Kemudian, ia pergi ke Yongyakarta untuk mendapatkan petunjuk dari Pemimpin RI. Setelah mendapat penjelasan bahwa daerahnya termasuk kekuasaan Belanda, walaupun kecewa, ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan bekerjasama dengan pihak Belanda.

Ketika merasa kekuatannya sudah cukup. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya pada 18 November 1946 mulai menyerang Belanda. Tabanan di gempur dan dia berhasil dengan menyerahnya satu detasemen polisi lengkap dengan senjatanya. Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Bali dan Lombok lengkap dengan pesawat tempur untuk menghadapi pasukan I Gusti Ngurah Rai.

Karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang dan persenjataan yang kurang lengkap, akhirnya pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan atau habis-habisan di Margarana, sebelah utara Tabanan. I Gusti Ngurah Rai meninggal pada tanggal 20 November 1946 (pada umur 29 tahun) beserta seluruh pasukanya di medan perang.

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.


6.  Chairil Anwar (1922 - 1949)

Chairil Anwar
Chairil Anwar atau yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" Lahir di Medan, 22 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. 

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. 

Penyair yang satu ini memang fenomenal  dan kontroversial. Saat pengaruh Angkatan Pujangga Baru belum surut, sejak 1942, Chairil Anwar sudah mendobrak tata tertib berpuisi. Dalam puisi-puisinya, Chairil memperkenalkan aliran ekspresionisme dalam sastra. Walhasil, puisi-puisinya terkesan penuh tenaga dan radikal untuk masanya. Tengok saja puisinya yang terkenal: “Aku”. Kendati Chairil anwar tidak pernah tamat MULO (SMP), secara otodidak ia mendalami bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, sehingga karya-karya para pujangga besar seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.mampu dicernanya. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
 
Dari karya-karya orang asing itu, Chairil lalu menerjemahkan, menyadur, bahkan membuat karya baru. Mungkin karna itulah ia kadang dituding “penjiplak”. Jiwa patriotiknya terlihat dalam karya “Antara Kerawang dan Bekasi”, “Diponegoro”, serta “1945”. “Doa Untuk Isa” seolah mewakili sisi religiusnya. Adapun “Aku” mencerminkan sikap tidak peduli. Ia memang sosok yang kompleks. 

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil meninggal di Jakarta, tanggal 28 April 1949 (pada usia 27 tahun) karena penyakit TBC. Kepeloporannya diteguhkan oleh H.B. Jassin pada Tahun 1956 dalam bukunya yang berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”.

Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.



Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian I)
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian III) 
Mereka yang meninggal di Usia Muda (Bagian IV - Selesai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar