15 Agustus 2012

Dimensi Kecerdasan Manusia (Bagian I)

Anda pasti pernah mendengar istilah IQ (Intelegent Quotient), EQ (Emotional Quotient), PQ (Physical Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) baik itu waktu masih di bangku sekolah, kuliah, surat kabar, televisi, dan lain-lain. Bagi Anda, para pencari kerja, ke tiga hal ini sering menjadi bahan ujian masuk seperti pada perusahaan negara, swasta, militer dan kepolisian bahkan beberapa sekolah dan perguruan tinggi sudah mulai menerapkan tes ini untuk ujian masuk.


Penilaian atau kriteria dari masing-masing tempat pun berbeda-beda.  Ada yang lebih mengutamakan IQ dari EQ, PQ, dan SQ. Begitu juga sebaliknya. Kebutuhan dari pengelompokan kecerdasan (IQ, EQ, PQ dan SQ) yang diperlukan oleh sebuah perusahaan perbankan tentu berbeda dengan yang dibutuhkan oleh institusi militer. 

Mengapa berbeda? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu  IQ (Intelegent Quotient), EQ (Emotional Quotient), PQ (Physical Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) yang kemudian dinyatakan sebagai pengelompokkan kecerdasan manusia.


1. KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)

Pernahkah kita menanyakan darimana kita dapat membaca, menulis, menciptakan sesuatu, mengetahui konsep sebab akibat?

Mungkin kita sudah lupa kapan kita mulai dapat membaca, menulis, mengetahui konsep hitungan dan lain-lain. Setiap manusia lahir ke dunia sudah memiliki kecerdasan bawaan dan melalui latihan dapat mengembangkan kecerdasannya dalam bentuk kemampuan tertentu.

IQ atau Intelegent Quotient merupakan daya nalar dan logika seseorang yang berupa kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru, menganalisis, dan lain-lain. IQ digunakan untuk memetakan kemampuan kognitif dan kesiapan seseorang untuk mempelajari sesuatu, walaupun bukan merupakan satu-satunya kecerdasan yang dapat memastikan apakah seseorang dapat sukses di masa depan atau tidak. 

IQ secara fakta genetis cenderung bersifat menetap dan tidak dapat dipelajari. IQ seseorang dapat diketahui melalui tes kecerdasan (IQ tes) yang menentukan seseorang dikatakan genius, cerdas, rata-rata, maupun di bawah rata-rata. Orang yang mempunyai IQ tinggi atau di atas rata-rata dikatakan dapat lebih menangkap dan mengolah informasi yang berkaitan dengan proses kongnitif daripada mereka yang mempunyai IQ rata-rata atau di bawah rata-rata. 

Menurut Soertarlinah Soetardji (1998), intelegensi merupakan kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk beradaptasi, mengubah, dan memeilih lingkungan.

Penting untuk diketahui bahwa tingginya IQ tidak dapat dilihat dari pilihan jurusan baik di SMA maupun perguruan tinggi. Anggapan yang mengatakan bahwa siswa/i yang masuk jurusan IPA lebih pintar dari siswa/i yang memilih jurusan IPS tidak dapat dijadikan patokan. Demikian juga dengan anggapan bahwa mahasiswa yang kuliah di jurusan eksakta lebih pintar dibandingkan dengan mahasiswa yang kuliah di jurusan sosial atau humaniora merupakan hal yang keliru. Keragaman pilihan jurusan lebih disebabkan manusia pada dasarnya mempunyai minimal delapan kecerdasan (Multiple Intelegence) dalam dirinya dan penanganan terhadap berbagai kecerdasan itulah yang akan membedakan pilihan jurusan atau profesi yang ingin digeluti oleh masing-masing individu.

Nilai tinggi pada tes IQ belum dapat menjamin seseorang akan memperoleh nilai akademik yang bagus di sekolah maupun sukses di masa depan. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sukses tidaknya seseorang meski memiliki nilai IQ tinggi, yaitu:

  1. Faktor Internal (dari dalam diri), seperti rasa malas sehingga tidak mau berlatih. Untuk mempelajari sesuatu tidak akan terlepas dari kemauan kita untuk berlatih. Otak manusia perlu dilatih sehingga dapat lebih fokus dan membuat manusia mahir membaca, menulis, mencipta, dan menganalisis. Siswa dengan nilai IQ rata-rata mampu mendapatkan nilai akademik yang tinggi asalkan siswa tersebut tekun dalam berlatih.
  2. Faktor Eksternal (dari luar), seperti kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pelajaran, serta ketidakmampuan dalam menggunakan media elektronik secara tepat dan bijaksana. Contohnya: internet dapat menjadi sumber belajar banyak halkarena melalui internet kita dapat mengakses berbagai macam pengetahuan secara lebih mudah dan murah. Internet juga dapat menggangu apabila yang kita akses adalah informasi seperti situs porno, games, dan lain-lain.  

2. KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)

Pernahkah kamu mendapati teman yang pintar di bangku sekolah, perkuliahan, atau tempat kerja berubah perangai ketika keinginannya gagal tercapai? Mungkin pernah pula kamu menemukan seorang yang merasa diri pintar, banyak perempuan (bila dia laki-laki) atau laki-laki (bila dia perempuan) yang suka padanya, tapi ketika ia menyatakan perasaannya kepada seseorang yang disukai dan di tolak, ia pun marah dan frustasi. Ia melarikan kemarahannya dengan menyibukkan diri bermain games, mabuk-mabukan, bahkan bunuh diri.

Tingginya IQ tidak menjamin seseorang mampu menghadapi pengalaman-pengalaman di luar akademis. Emosi yang tak tertangani dapat membuat seseorang bertindak bodoh. Orang yang patah hati tadi tidak dapat menunjukkan kemampuannya untuk berpikir cerdas dalam megolah emosinya. Dengan kata ain kecerdasan akademis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.

Daniel Goleman memberikan pemikiran lain diluar pemikiran IQ tinggi akan mengarahkan seseorang menuju kesuksesan. Goleman melalui penelitiannya mengenai otak dan prilaku manusia mengapa seseorang dengan IQ tinggi dapat gagal dan mengapa seseorang dengan IQ rata-rata dapat sukses. Tidak seperti IQ yang merupakan faktor genetis yang sifatnya menetap dan tidak dapat diubah-ubah, EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi itu tumbuh, di pupuk, di pelajari melalui proses belajar, dan di respons melalui pengalaman-pengalaman hidup sejak seseorang lahir hingga ia meninggal. Pertumbuhan dan perkembangan EQ bisa dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, maupun masyarakat.

Menurut Dainel Goleman, ada beberapa kemampuan yang menyebabkan seseorang memiliki EQ yang tinggi. Kemampuan itu adalah:

1. Kemampuan memahami dan mengenali emosi diri, yaitu kesadaran diri untuk mengenali perasaan pada waktu perasaan itu terjadi.

Contoh : Pada saat pertandingan sepak bola sedang berlangsung, seorang pemain berusaha merebut bola dari pemain lain. Ia bermain kasar karena ingin segera menang, sedangkan pemain yang dikasari tidak terima. Pemain itu segera datang mendatangi dan memaki pemain yang bermain kasar tadi. Pada saat di maki, pemain yang kasar tersebut langsung sadar atas perbuatannya dan minta maaf.

2. Kemampuan mengelola emosi, yaitu mampu menangani perasaan agar perasaaan dapat terungkap dengan tepat. Kemampuan ini tergantung pada kemampuan mengenali emosi diri.

Contoh: seorang guru sedang menghadapi siswa yang sering membuat gaduh di kelas. Begitu siswa tersebut memulai ulahnya, guru tersebut tahu dia dapat terpancing kemarahannya. Ia  pun memilih sikap untuk memanggil siswa tersebut dan menyuruhnya belajar di luar kelas tanpa memarahinya. Guru itupun melanjutkan mengajar dengan tenang.

3. Kemampuan memotivasi diri, yaitu kemampuan untuk menata emosi untuk mencapai tujuan, selalu menyakinkan diri sendiri untuk selalu berusaha, tetap bergairah dan antusias  terhadap segala yang ingin dicapai.

Contoh: Seseorang yang ingin menjadi penyanyi terkenal. Walaupun telah di tolak beberapa dapur rekaman, dia tetap berlatih mengasah kemampuan bernyanyi dan menyakini bakat yang dimilikinya.

4. Kemampuan mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan untuk dapat berempati kepada orang lain.

Contoh: Ketika ada teman yang kehilangan orang yang dicintainya (meninggal dunia), maka kita dapat merasakan kedukaan yang dialami orang tersebut.

5. Kemampuan untuk membina hubungan. Yaitu, kemampuan untuk dapat menularkan perasaan positif kepada orang lain. Misalnya, perasaan nyaman, ketika berdekatan atau bersama seseorang karena orang tersebut  dianggap mampu membuat suasana menjadi menyenangkan.

Contohnya: Seseorang yang mampu mendamaikan teman-temanya ketika mereka saling bertengkar, atau seseorang yang mampu menenangkan temanya yang sedang kesulitan karena mampu memberikan solisi, enak diajak bicara, sekaligus pendengar yang baik.

Seseorang yang secara emosi tidak cerdas biasanya:
  1. Bersifat agresif 
  2. Cenderung berpikir negatif 
  3. Malas, dan lebih suka melakukan kegiatan untuk menyenangkan diri secara berlebihan
  4. Lebih mementingkan diri sendiri (egois)
  5. Tidak mampu menentukan tujuan
  6. Cepat cemas dan depresi
  7. Menarik diri dari pergaulan
  8. Suka memanfaatkan kelemahan orang lain
  9. Tidak sopan
  10. Kurang percaya diri

Seseorang yang secara emosi bermasalah akan sulit untuk mempelajari sesuatu. Seseorang yang apatis, pemarah, cepat stress, dan depresi biasanya malas untuk membuka diri dan menerima pengalaman belajar baru.

Menurut Anda, cerdaskah Anda secara emosi?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar