Anda pasti pernah mendengar
istilah IQ (Intelegent Quotient), EQ
(Emotional Quotient), PQ (Physical Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) baik itu waktu masih
di bangku sekolah, kuliah, surat kabar, televisi, dan lain-lain. Bagi Anda,
para pencari kerja, ke tiga hal ini sering menjadi bahan ujian masuk seperti
pada perusahaan negara, swasta, militer dan kepolisian bahkan beberapa sekolah
dan perguruan tinggi sudah mulai menerapkan tes ini untuk ujian masuk.
Penilaian atau kriteria dari masing-masing
tempat pun berbeda-beda. Ada yang lebih
mengutamakan IQ dari EQ, PQ, dan SQ. Begitu juga sebaliknya. Kebutuhan dari
pengelompokan kecerdasan (IQ, EQ, PQ dan SQ) yang diperlukan oleh sebuah
perusahaan perbankan tentu berbeda dengan yang dibutuhkan oleh institusi
militer.
Mengapa berbeda?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu IQ (Intelegent
Quotient), EQ (Emotional Quotient),
PQ (Physical Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) yang kemudian
dinyatakan sebagai pengelompokkan kecerdasan manusia.
1. KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)
Pernahkah kita menanyakan
darimana kita dapat membaca, menulis, menciptakan sesuatu, mengetahui konsep
sebab akibat?
Mungkin kita sudah lupa kapan
kita mulai dapat membaca, menulis, mengetahui konsep hitungan dan lain-lain.
Setiap manusia lahir ke dunia sudah memiliki kecerdasan bawaan dan melalui
latihan dapat mengembangkan kecerdasannya dalam bentuk kemampuan tertentu.
IQ atau Intelegent Quotient merupakan daya nalar dan logika seseorang yang
berupa kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru, menganalisis, dan
lain-lain. IQ digunakan untuk memetakan kemampuan kognitif dan kesiapan
seseorang untuk mempelajari sesuatu, walaupun bukan merupakan satu-satunya
kecerdasan yang dapat memastikan apakah seseorang dapat sukses di masa depan
atau tidak.
IQ secara fakta genetis cenderung
bersifat menetap dan tidak dapat dipelajari. IQ seseorang dapat diketahui
melalui tes kecerdasan (IQ tes) yang menentukan seseorang dikatakan genius,
cerdas, rata-rata, maupun di bawah rata-rata. Orang yang mempunyai IQ tinggi
atau di atas rata-rata dikatakan dapat lebih menangkap dan mengolah informasi
yang berkaitan dengan proses kongnitif daripada mereka yang mempunyai IQ
rata-rata atau di bawah rata-rata.
Menurut Soertarlinah Soetardji
(1998), intelegensi merupakan kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk
beradaptasi, mengubah, dan memeilih lingkungan.
Penting untuk diketahui bahwa
tingginya IQ tidak dapat dilihat dari pilihan jurusan baik di SMA maupun
perguruan tinggi. Anggapan yang mengatakan bahwa siswa/i yang masuk jurusan IPA
lebih pintar dari siswa/i yang memilih jurusan IPS tidak dapat dijadikan
patokan. Demikian juga dengan anggapan bahwa mahasiswa yang kuliah di jurusan
eksakta lebih pintar dibandingkan dengan mahasiswa yang kuliah di jurusan
sosial atau humaniora merupakan hal yang keliru. Keragaman pilihan jurusan
lebih disebabkan manusia pada dasarnya mempunyai minimal delapan kecerdasan (Multiple Intelegence) dalam dirinya dan
penanganan terhadap berbagai kecerdasan itulah yang akan membedakan pilihan
jurusan atau profesi yang ingin digeluti oleh masing-masing individu.
Nilai tinggi pada tes IQ belum
dapat menjamin seseorang akan memperoleh nilai akademik yang bagus di sekolah
maupun sukses di masa depan. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sukses
tidaknya seseorang meski memiliki nilai IQ tinggi, yaitu:
- Faktor Internal (dari dalam diri), seperti rasa malas sehingga tidak mau berlatih. Untuk mempelajari sesuatu tidak akan terlepas dari kemauan kita untuk berlatih. Otak manusia perlu dilatih sehingga dapat lebih fokus dan membuat manusia mahir membaca, menulis, mencipta, dan menganalisis. Siswa dengan nilai IQ rata-rata mampu mendapatkan nilai akademik yang tinggi asalkan siswa tersebut tekun dalam berlatih.
- Faktor Eksternal (dari luar), seperti kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pelajaran, serta ketidakmampuan dalam menggunakan media elektronik secara tepat dan bijaksana. Contohnya: internet dapat menjadi sumber belajar banyak halkarena melalui internet kita dapat mengakses berbagai macam pengetahuan secara lebih mudah dan murah. Internet juga dapat menggangu apabila yang kita akses adalah informasi seperti situs porno, games, dan lain-lain.
2. KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
Pernahkah kamu mendapati teman
yang pintar di bangku sekolah, perkuliahan, atau tempat kerja berubah perangai
ketika keinginannya gagal tercapai? Mungkin pernah pula kamu menemukan seorang
yang merasa diri pintar, banyak perempuan (bila dia laki-laki) atau laki-laki
(bila dia perempuan) yang suka padanya, tapi ketika ia menyatakan perasaannya
kepada seseorang yang disukai dan di tolak, ia pun marah dan frustasi. Ia
melarikan kemarahannya dengan menyibukkan diri bermain games, mabuk-mabukan, bahkan bunuh diri.
Tingginya IQ tidak menjamin seseorang mampu menghadapi pengalaman-pengalaman di luar akademis. Emosi yang tak tertangani dapat membuat seseorang bertindak bodoh. Orang yang patah hati tadi tidak dapat menunjukkan kemampuannya untuk berpikir cerdas dalam megolah emosinya. Dengan kata ain kecerdasan akademis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.
Tingginya IQ tidak menjamin seseorang mampu menghadapi pengalaman-pengalaman di luar akademis. Emosi yang tak tertangani dapat membuat seseorang bertindak bodoh. Orang yang patah hati tadi tidak dapat menunjukkan kemampuannya untuk berpikir cerdas dalam megolah emosinya. Dengan kata ain kecerdasan akademis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.
Daniel Goleman memberikan
pemikiran lain diluar pemikiran IQ tinggi akan mengarahkan seseorang menuju
kesuksesan. Goleman melalui penelitiannya mengenai otak dan prilaku manusia
mengapa seseorang dengan IQ tinggi dapat gagal dan mengapa seseorang dengan IQ
rata-rata dapat sukses. Tidak seperti IQ yang merupakan faktor genetis yang
sifatnya menetap dan tidak dapat diubah-ubah, EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi itu tumbuh, di pupuk, di
pelajari melalui proses belajar, dan di respons melalui pengalaman-pengalaman
hidup sejak seseorang lahir hingga ia meninggal. Pertumbuhan dan perkembangan
EQ bisa dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, maupun masyarakat.
Menurut Dainel Goleman, ada
beberapa kemampuan yang menyebabkan seseorang memiliki EQ yang tinggi.
Kemampuan itu adalah:
1. Kemampuan memahami dan mengenali
emosi diri, yaitu kesadaran diri untuk mengenali perasaan pada waktu perasaan
itu terjadi.
Contoh : Pada saat pertandingan sepak bola sedang berlangsung,
seorang pemain berusaha merebut bola dari pemain lain. Ia bermain kasar karena
ingin segera menang, sedangkan pemain yang dikasari tidak terima. Pemain itu
segera datang mendatangi dan memaki pemain yang bermain kasar tadi. Pada saat
di maki, pemain yang kasar tersebut langsung sadar atas perbuatannya dan minta
maaf.
2. Kemampuan mengelola emosi, yaitu
mampu menangani perasaan agar perasaaan dapat terungkap dengan tepat. Kemampuan
ini tergantung pada kemampuan mengenali emosi diri.
Contoh: seorang guru sedang menghadapi siswa yang sering membuat
gaduh di kelas. Begitu siswa tersebut memulai ulahnya, guru tersebut tahu dia
dapat terpancing kemarahannya. Ia pun
memilih sikap untuk memanggil siswa tersebut dan menyuruhnya belajar di luar
kelas tanpa memarahinya. Guru itupun melanjutkan mengajar dengan tenang.
3. Kemampuan memotivasi diri, yaitu
kemampuan untuk menata emosi untuk mencapai tujuan, selalu menyakinkan diri
sendiri untuk selalu berusaha, tetap bergairah dan antusias terhadap segala yang ingin dicapai.
Contoh: Seseorang yang ingin menjadi penyanyi terkenal. Walaupun telah
di tolak beberapa dapur rekaman, dia
tetap berlatih mengasah kemampuan bernyanyi dan menyakini bakat yang
dimilikinya.
4. Kemampuan mengenali emosi orang
lain, yaitu kemampuan untuk dapat berempati kepada orang lain.
Contoh: Ketika ada teman yang kehilangan orang yang dicintainya
(meninggal dunia), maka kita dapat merasakan kedukaan yang dialami orang
tersebut.
5. Kemampuan untuk membina hubungan.
Yaitu, kemampuan untuk dapat menularkan perasaan positif kepada orang lain.
Misalnya, perasaan nyaman, ketika berdekatan atau bersama seseorang karena
orang tersebut dianggap mampu membuat
suasana menjadi menyenangkan.
Contohnya: Seseorang yang mampu mendamaikan teman-temanya ketika
mereka saling bertengkar, atau seseorang yang mampu menenangkan temanya yang
sedang kesulitan karena mampu memberikan solisi, enak diajak bicara, sekaligus
pendengar yang baik.
Seseorang yang secara emosi tidak cerdas biasanya:
- Bersifat agresif
- Cenderung berpikir negatif
- Malas, dan lebih suka melakukan kegiatan untuk menyenangkan diri secara berlebihan
- Lebih mementingkan diri sendiri (egois)
- Tidak mampu menentukan tujuan
- Cepat cemas dan depresi
- Menarik diri dari pergaulan
- Suka memanfaatkan kelemahan orang lain
- Tidak sopan
- Kurang percaya diri
Seseorang yang secara emosi
bermasalah akan sulit untuk mempelajari sesuatu. Seseorang yang apatis,
pemarah, cepat stress, dan depresi biasanya malas untuk membuka diri dan
menerima pengalaman belajar baru.
Menurut Anda, cerdaskah Anda
secara emosi?
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar