Perilaku manusia sehat dikendalikan oleh otak bagian depan yang disebut
korteks perfrontalis. Bagian ini mengontrol pikiran manusia. Namun mereka yang
cenderung melakukan kekerasan, prilakunya diatur oleh amigdala yang
mengontrol emosi dan mental.
Sekretaris Jenderal Indonesia
Society, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi, Taufiq Pasiakm,
mengatakan, otak manusia cenderung melakukan kekerasan dan para pelaku
kejahatan pada umumnya mengalami kerusakan pada bagian korteks prefrontalis.
Bagian ini berurusan dengan rasa malu, empati sosial, dan pengaturan
norma-nilai dalam kehidupan.
Kerusakan korteks prefrontalis
membuat manusia kehilangan tata krama sosial, menjadi anti sosial, kehilangan
rasa bersalah, dan kematangan emosinya terganggu. “Prilaku orang sehat
dikendalikan oleh pikiran bukan emosi”, katanya.
Mereka yang mengalami kerusakan
korteks prefrontalis menjadi tidak santun, agresif dan emosional. Dalam kondisi
ini, peranan amigdala lebih dominan di bandingkan korteks prefrontalis.
Artinya, emosi lebih menguasai dibandingkan pikiran.
Banyak hal yang menjadi penyebab
kerusakan korteks prefrontalis. Hal ini antara lain adanya tumor, efek samping
pembedahan, dan cedera.
Pelaku kekerasan dan kejahatan,
termasuk koruptor, mengetahui tindakan merka buruk dan salah. Namun, pemahaman
mereka tersebut tidak dapat ditransformasikan dalam prilaku akibat bagian otak
yang menerjemakan pengetahuan ke dalam prilaku rusak.
“Pelaku kejahatan, baik sebagai
profesi, hobi atau karena situasi, semuanya menederita gangguan otak. Bisa jadi
otaknya normal, tetapi tak sehat,” katanya.
Selain itu, otak juga memiliki
sifat neuroplastisitas (berubah
secara alami). Perubahan ini akibat stimulus, baik fisik melalui olahraga maupun
melalui nonfisik melalui pelatihan mental.
Melatih mental melalui meditasi, ibadah
(doa dan puji-pujian kepada Tuhan), perenungan, ataupun pengharapan (optimisme)
bisa mengolah mental menjadi positif. Ini akan berdampak pada positifnya emosi
dan selanjutnya memengaruhi otak.
Meski demikian, banyak orang tak
telaten mengolah mental. Pada saat bersamaan, pengaruh negatif bagi mental
datang bertubi-tubi setiap hari. Kondisi dan informasi yang pesimistis,
maraknya tayangan kekerasan dan seks bebas, serta hilangnya kehangatan di rumah
membuat otak mempresepsikan berbagai hal negatif itu sebagai tindakan wajar.
“Sesuatu yang terpatri di otak
sulit untuk dilupakan”, katanya.
Secara teoritis, kata Taufiq,
kerusakan kortek prefrontalis bisa diperbaiki. Namun manfaatnya perlu
dipertimbangkan, karena penyembuhan tanpa diikuti intervensi mental akan
percuma akibat sifat neuroplastisitas
otak.
Ahli Psikologi Motivasi
Universitas Gajah Mada, yang juga Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Islami, Bagus
Riyono, mengungkapkan perspektif berbeda. Dalam pengetahuan Barat, otak juga
memang menjadi pengendali atas segala prilaku manusia. Namun dalam perspektif Timur, yaitu Jepang, China, Indonesia serta agama Islam, perilaku otak manusia
dikendalikan hati nurani.
Tindak kekerasan berasal memang
bersumber dari amigdala. Namun jika hati kuat, orang bersangkutan mampu
mengendalikan prilakunya. “Otak hanya eksekutor, pengambil keputusan di hati,”
ujarnya.
Bagus mengakui studi neorosains
Barat tentang hati belum banyak karena mereka kurang mempercayai spiritualitas.
Meski demikian belum ada penjelasan tentang siapa yang mengendalikan otak.
“Hati nurani memang suatu yang
abstrak, posisinya tidak jelas di bagian mana dalam tubuh. Tetapi, dampaknya
bisa dirasakan seluruh tubuh,” ujarnya.
Contoh sederhana adalah perasaan
cinta. Ekspresi cinta sering kali tidak rasional, tetapi hati justru
menerimanya.
Pendidikan Spiritual
Taufiq dan Bagus sama-sama
menekankan pendidikan spiritual, baik bagi otak maupun hati nurani.
Menurut Taufiq, teknologi paling
canggih adalah pendidikan spiritual, mulai dari pendidikan keluarga, sekolah,
hingga akhirnya lingkungan sekitar. Namun, sistem pendidikan Indonesia lebih
mengedepankan aspek kongnitif.
Pendidikan juga lebih banyak
mengedepankan hal-hal bersifat ritual dan simbolik, bukan substansial. Kondisi
ni diperparah dengan hilangnya keteladanan orang yang lebih tua sebagai
panutan. Komunitas pendorong kebaikan yang ada dimasyarakat, seperti kelompok
keagamaan, justru berubah menjadi komunitas yang eksklusif.
“Pengalaman bangsa-bagsa maju
menunjukkan, pengembangan otak harus dilakukan secara serius, tidak bisa
dibiarkan otak tumbuh alamiah,” kata taufiq.
Bagus menambahkan, sejumlah
sekolah memang mencoba mengembangkan pendidikan karakter. Namun, pola pendidikannya
masih menekankan aspek kongnitif. Akibatnya kejujuran, kesetiakawanan, empati,
dan toleransi hanya menjadi uraian kata-kata teoritis tanpa ada contoh langsung
bagaimana melakukan hal-hal itu dan disampaikan dengan penuh ketulusan.
Kompleksnya persoalan sosial
politik kemasyarakatan membuat pendidikan dalam keluarga menjadi sangat
penting. Sayangnya kesibukan orangtua, pendidikan spiritual dalam rumah justru
dinomorduakan.
Sumber: M. Zaid Wahyudi
(dalam Harian Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar