20 Mei 2012

PERILAKU KEKERASAN: Rusaknya Otak dan Hati


Perilaku manusia sehat dikendalikan oleh otak bagian depan yang disebut korteks perfrontalis. Bagian ini mengontrol pikiran manusia. Namun mereka yang cenderung melakukan kekerasan, prilakunya diatur oleh amigdala yang mengontrol  emosi dan mental.

Sekretaris Jenderal Indonesia Society, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi, Taufiq Pasiakm, mengatakan, otak manusia cenderung melakukan kekerasan dan para pelaku kejahatan pada umumnya mengalami kerusakan pada bagian korteks prefrontalis. Bagian ini berurusan dengan rasa malu, empati sosial, dan pengaturan norma-nilai dalam kehidupan.  

Kerusakan korteks prefrontalis membuat manusia kehilangan tata krama sosial, menjadi anti sosial, kehilangan rasa bersalah, dan kematangan emosinya terganggu. “Prilaku orang sehat dikendalikan oleh pikiran bukan emosi”, katanya.

Mereka yang mengalami kerusakan korteks prefrontalis menjadi tidak santun, agresif dan emosional. Dalam kondisi ini, peranan amigdala lebih dominan di bandingkan korteks prefrontalis. Artinya, emosi lebih menguasai dibandingkan pikiran.

Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan korteks prefrontalis. Hal ini antara lain adanya tumor, efek samping pembedahan, dan cedera. 

Pelaku kekerasan dan kejahatan, termasuk koruptor, mengetahui tindakan merka buruk dan salah. Namun, pemahaman mereka tersebut tidak dapat ditransformasikan dalam prilaku akibat bagian otak yang menerjemakan pengetahuan ke dalam prilaku rusak.

“Pelaku kejahatan, baik sebagai profesi, hobi atau karena situasi, semuanya menederita gangguan otak. Bisa jadi otaknya normal, tetapi tak sehat,” katanya.

Selain itu, otak juga memiliki sifat neuroplastisitas (berubah secara alami). Perubahan ini akibat stimulus, baik fisik melalui olahraga maupun melalui nonfisik melalui pelatihan mental.

Melatih mental melalui meditasi, ibadah (doa dan puji-pujian kepada Tuhan), perenungan, ataupun pengharapan (optimisme) bisa mengolah mental menjadi positif. Ini akan berdampak pada positifnya emosi dan selanjutnya memengaruhi otak. 

Meski demikian, banyak orang tak telaten mengolah mental. Pada saat bersamaan, pengaruh negatif bagi mental datang bertubi-tubi setiap hari. Kondisi dan informasi yang pesimistis, maraknya tayangan kekerasan dan seks bebas, serta hilangnya kehangatan di rumah membuat otak mempresepsikan berbagai hal negatif itu sebagai tindakan wajar.

“Sesuatu yang terpatri di otak sulit untuk dilupakan”, katanya. 

Secara teoritis, kata Taufiq, kerusakan kortek prefrontalis bisa diperbaiki. Namun manfaatnya perlu dipertimbangkan, karena penyembuhan tanpa diikuti intervensi mental akan percuma akibat sifat neuroplastisitas otak.

Ahli Psikologi Motivasi Universitas Gajah Mada, yang juga Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Islami, Bagus Riyono, mengungkapkan perspektif berbeda. Dalam pengetahuan Barat, otak juga memang menjadi pengendali atas segala prilaku manusia. Namun dalam perspektif Timur, yaitu Jepang, China, Indonesia serta agama Islam, perilaku otak manusia dikendalikan hati nurani.

Tindak kekerasan berasal memang bersumber dari amigdala. Namun jika hati kuat, orang bersangkutan mampu mengendalikan prilakunya. “Otak hanya eksekutor, pengambil keputusan di hati,” ujarnya.

Bagus mengakui studi neorosains Barat tentang hati belum banyak karena mereka kurang mempercayai spiritualitas. Meski demikian belum ada penjelasan tentang siapa yang mengendalikan otak.

“Hati nurani memang suatu yang abstrak, posisinya tidak jelas di bagian mana dalam tubuh. Tetapi, dampaknya bisa dirasakan seluruh tubuh,” ujarnya.
Contoh sederhana adalah perasaan cinta. Ekspresi cinta sering kali tidak rasional, tetapi hati justru menerimanya.


Pendidikan Spiritual

Taufiq dan Bagus sama-sama menekankan pendidikan spiritual, baik bagi otak maupun hati nurani.

Menurut Taufiq, teknologi paling canggih adalah pendidikan spiritual, mulai dari pendidikan keluarga, sekolah, hingga akhirnya lingkungan sekitar. Namun, sistem pendidikan Indonesia lebih mengedepankan aspek kongnitif.

Pendidikan juga lebih banyak mengedepankan hal-hal bersifat ritual dan simbolik, bukan substansial. Kondisi ni diperparah dengan hilangnya keteladanan orang yang lebih tua sebagai panutan. Komunitas pendorong kebaikan yang ada dimasyarakat, seperti kelompok keagamaan, justru berubah menjadi komunitas yang eksklusif.

“Pengalaman bangsa-bagsa maju menunjukkan, pengembangan otak harus dilakukan secara serius, tidak bisa dibiarkan otak tumbuh alamiah,” kata taufiq.

Bagus menambahkan, sejumlah sekolah memang mencoba mengembangkan pendidikan karakter. Namun, pola pendidikannya masih menekankan aspek kongnitif. Akibatnya kejujuran, kesetiakawanan, empati, dan toleransi hanya menjadi uraian kata-kata teoritis tanpa ada contoh langsung bagaimana melakukan hal-hal itu dan disampaikan dengan penuh ketulusan.

Kompleksnya persoalan sosial politik kemasyarakatan membuat pendidikan dalam keluarga menjadi sangat penting. Sayangnya kesibukan orangtua, pendidikan spiritual dalam rumah justru dinomorduakan.


Sumber:  M. Zaid Wahyudi (dalam Harian Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar