“Profesi yang digeluti seseorang seringkali bukanlah cita-cita yang Ia
idamkan sejak kecil”
Sepengal kalimat di atas terkesan
kejam, namun ini merupakan realita yang sudah umum terjadi dimasa sekarang ini.
Jika kita mengingat kembali di usia anak-anak baik di sekolah maupun
dilingkungan keluarga, orangtua atau guru sering bertanya kepada kita untuk
melontarkan apa yang menjadi cita-cita kita. Ada yang berkeinginan menjadi
dokter, insinyur, pengusaha, tentara, bahkan presiden dan sebagainya. Namun
seiring dengan bertambahnya usia (beranjak remaja dan dewasa) bagaimana dengan
impian mereka? Apakah cita-cita itu tetap konsisten?
Seiring dengan bertambahnya usia, semakin luasnya wawasan dan ilmu yang diperoleh, serta realita yang dihadapi, cita-cita pun bergeser. Berbagai profesi lain telah hadir dalam keseharian mereka, seperti perancang busana, pemain band, desainer, bahkan VJ (Video Jockey).
Cita-cita biasanya muncul dari
ketertarikan atau minat akan sesuatu. Namun tidak cukup sebatas tertarik saja,
ada beberapa faktor lain agar cita-cita ini dapat terwujud, salah satunya yaitu
bakat yang kemudian menjadikan profesi tersebut sebagai passion atau “panggilan jiwa”.
Jadi apakah seseorang yang
memiliki cita-cita dan sesuai dengan bakat yang dimilikinya otomatis akan
sukses meraih cita-citanya? Jawabanya tentu saja “TIDAK”
Anda sedang bercanda???
Hahaha…tentu saja saya sangat
serius dan jawabannya tetap “TIDAK”
Kalau begitu apa masih ada lagi
faktor lain? Sangat banyak sekali dan tidak mungkin untuk menguraikan semuanya
pada satu artikel. Namun salah satunya adalah “Kerja Keras” atau “Hardworking”.
Anehnya tidak sedikit pula dari
antara sekian banyak orang yang menurut hemat saya pasti memiliki bakatnya
masing-masing justru menjadi mahir bahkan ahli dalam bidang yang sebelumnya
“bukan” menjadi cita-citanya sejak kecil.
Seperti kata Thomas Alfa Edison,
yang merupakan ilmuwan dengan hasil temuan paling banyak, mengatakan
keberhasilan adalah 1% bakat, dan sisanya 99% kerja keras.
Bagaimana bisa? Apa yang
menyebabkan itu terjadi? dan bagaimana? Pada artikel ini saya akan memberikan
dua contoh profile yang sangat
bertolak belakang ketika mereka menekuni bidang yang menjadi profesi mereka
sekarang.
Musisi?, atlet?, komedian? atau
barangkali pengusaha?
Itu sih sudah biasa. Sudah
terlalu banyak diangkat ke media cetak dan eletronik.
Jadi siapakah mereka?
1. Ralph Tampubolon (News Presenter)
Ralph Tampubolon, bersama istri dan anak tercinta (kanan) |
“Saya menyukai pekerjaan ini
karena minat saya ke sana, jadi mengerjakannya pun dengan semangat”.
Pria berdarah Batak, berwajah
tampan, suara berat dan fasih berbahasa Inggris ini tentu tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang selalu update dengan yang namanya berita, baik dalam maupun luar negeri. Insinyur
ini rupanya lebih memilih kerja di broadcasting,
dibandingkan mengamalkan ilmu yang didapat saat awal kuliahnya.
Masa Kecil
Ralph Tampubolon lahir di
Jakarta, 24 Januari 1975. Nama Ralph sendiri diambil dari Ralph Buche, tokoh
HAM yang vokal dan sempat mendapatkan nobel perdamaian. Walupun lahir di
Indonesia, pada usia 3 bulan ia dibawa orangtuanya ke Boston, Amerika Serikat,
karena ayahnya Hasudungan Tampubolon mengambil gelar doktor di Boston. Selama 5
tahun ia bersama keluarga tinggal disana. Ralph mengaku justru ketika kembali
ke Indonesia, ia malah belajar Bahasa Indonesia, terbalik dengan kebanyakan
anak Indonesia pada umumnya.
Masa Remaja
Ketika menginjak bangku SMA,
Ralph mengambil jurusan Fisika. Kemudian sang ayah memintanya mengambil
Fakultas Teknik dan pada tahun 1993 ia di terima di Universitas Indonesia (UI).
Namun yang terjadi ia merasa tidak betah di perkuliahan yang sedang dijalani.
“Ternyata setelah dijalani, di
semester 4-5 saya mulai merasakan kayaknya bukan di situ bidangnya. Di tengah
jalan tersebut, saya punya teman yang kerja di radio. Menurut dia, suara saya
cocok jadi penyiar. Saya pikir, kenapa tidak dicoba. Sebelum siaran ada
training, meski sebentar. Saya mengikuti super diklat dengan melakukan simulasi
di belakang perangkat siar selama 10 hari. Akhirnya saya diterima.
Hitung-hitung kerja sampingan karena masih kuliah. Kerjaan saya waktu itu lebih
banyak ke musik, memutar lagu yang diinginkan pendengar. Orangtua sempat
menasihati jangan terlalu sibuk jadi penyiar radio. Pokoknya harus bisa jaga keseimbangan
antara kerja sampingan dan kuliah. Untunglah bisa selesai dua-duanya”.
Perjalanan Karier
Setelah lulus kuliah Desember
1998. Ralph pun melanjutkan studinya di Thailand mengambil jurusan yang ia
minati yaitu Ilmu Komunikasi.
“Sebenarnya pengen sekolah di
Amerika. Tapi terbentur krismon yang biayanya pasti membengkak. Kebetulan, Papa
ditugaskan di Bangkok dua tahun. Bersamaan itu, saya mendapat info ada
Universitas yang pusatnya di Amerika tapi buka cabang di Thailand. Ditambah
lagi ada program S2 Komunikasi Media dengan biayanya lebih murah dibanding ke
Amerika”.
Saat masih kuliah dan
menyelesaikan studi S2 pada tahun 2000. Ralph juga tertarik di dunia perfilman.
Ia banyak menonton film dan kebetulan dipelajari pada mata perkuliahan. Ia pun
melamar ke beberapa sekolah dan diterima di Boston selama satu tahun.
“Di sana saya belajar penulisan
naskah dan dasar-dasar akting. Saya senang semi ekperimental, kalau ada minat,
kok, enggak dijalani. Tahun 2002-2003 saya pulang ke Jakarta. Saat itu
pergerakan film baru dimulai. Sementara dunia broadcast sedang bagus karena
banyak stasiun teve berdiri, salah satunya Metro TV. Ke sanalah saya
mengejarnya, karena di sisi penyiaran, kan, ada sisi pembuatan naskah juga”.
Menjadi
News Presenter
Ternyata tidak segampang yang
diperkirakan. Ralph pun tidak terhitung sudah beberapa kali mengajukan lamaran
ke Metro TV tetapi belum juga di panggil dalam kurun waktu 1-2 tahun. Justru
pertama sekali pengalaman menjadi pembawa acara berita bermula ketika bekerja
di TVRI.
“Itu pengalaman yang menarik bagi saya. Tapi, lagi-lagi niatnya
enggak mau terlalu lama di sana, tetap pengen coba di teve swasta. Syukurlah,
akhirnya saya diterima di Metro TV awal 2006 sampai sekarang”
“Saya enggak langsung siaran,
tapi digembleng dulu di belakang layar melihat bagaimana proses produksi sebuah
tayangan berjalan. Saya belajar mulai dari pencarian berita sampai diudarakan,
penulisan, peliputan, supervisi editing, membantu produser di ruang kontrol,
pada saat eksekusi program saya harus tahu. Jadi, tidak dibiarkan hanya duduk
manis, tanpa tahu bagaimana jerih payah teman-teman lain yang bekerja. Karena
kalau enggak belajar kita cenderung jadi egois, banyak menuntut, tidak
menghargai pekerjaan orang lain, kita direndahkan secara hati bahwa proses ini
tidak gampang. Jadi, kalau lagi siaran tiba-tiba ada naskah yang salah, saya
lebih bisa memaklumi karena tahu apa yang terjadi di atas, kekurangan dan
kelebihan kita apa”.
“Setelah 6 bulan di belakang layar, saya baru siaran. Program
pertama yang dipegang Metro Malam dan Headline News dini hari. Karena minatnya
besar ditambah sering melek malam, suka begadang, jadi kebawa saat siaran, ya
sudah klop. Meski kadang jam 4 pagi suka ngantuk, ya ditahan saja”.
Mendapat kritik?
Itu sudah pasti.
Seorang Ralph tampubolon yang
sekarang dikenal dengan salah satu news
presenter top di Indonesia tidak pernah lepas dari yang namanya kritikan. Justru ia menganggap
kritikan sebagai bentuk perhatian masyarakat terhadap dirinya untuk menjadi
lebih baik.
“Pemirsa pernah mengritik cara bicara saya di depan teve, seperti
berkumur-kumur hingga tidak jelas bicaranya. Bagi saya kritikan dan pujian
diterima dengan lapang dada dan seimbang. Prinsip saya, tidak mungkin saya bisa
menyenangkan semua orang, semaksimal apapun berusaha, pasti ada saja orang yang
enggak suka dengan saya”.
“Pernah juga saya dikiritik
karena pakai celana yang “salah”. Saya pakai celana darurat yang di bawahnya
masih ada lipatan. Langsung, lho, dikomentari. Tapi saya terima dengan positif,
artinya saya masih diperhatikan orang, kan!?”
2. Junior
Rorimpandey
(Chef)
Junior Rorimpandey "Chef Juna", ketika sedang di dapur yang lebih senang ia sebut "laboratorium" (kanan) |
“Kalau saya boleh
bicara, memasak bukan “passion” saya.
Itu adalah pilihan “dead end” saya di
awal karier. Kalau ditanya apa “passion” saya, ya saya lebih suka mengurus Harley
Davidson,"
Wajah ganteng namun terkesan
sangar, pembawaan cuek, rambut spike,
lengan penuh tato dan menunggang motor gede. Kedengarannya lebih dekat dengan
sosok brandalan atau preman, namun siapa sangka pemuda yang saya maksudkan
adalah seorang koki atau nama lainya adalah chef.
Junior Rorimpandey atau yang
lebih dikenal dengan sebutan chef
Juna merupakan salah satu chef yang
cukup di segani di beberapa restoran Amerika bahkan pernah menjabat sebagai Executive Chef. Di Indonesia sendiri ia
mengelola sebuah restoran ternama di Jakarta yaitu Jackrabbit, walaupun
akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatan yang sama.
Masyarakat umum mengenalnya
melalui sebuah kompetisi bernama Master Chef. Ia merupakan salah satu juri (chef master) yang menilai kelayakan
masakan dari setiap kontestan.
Juna tak
pernah bermimpi menjadi chef seperti
sekarang. Ia bahkan bukan chef
lulusan sekolah kuliner atau sekolah chef seperti
yang banyak dilakukan chef muda
saat ini. Aktivitasnya dulu pun jauh dari urusan masak-memasak. Passion-nya saat itu (bahkan
hingga sekarang) adalah motor Harley Davidson-nya.
Masa Remaja
Junior Rorimpandey lahir di Manado, 20
Juli 1975. Masa remajanya bisa dikatakan sangat brutal dan kelam. Di
kedua lengan Chef Juna ini bertato. Tato itu dibuat waktu Juna umur 15 di Bali,
dengan menggunakan mesin buatan sendiri yang menggunakan jarum jahit.
Waktu berumur 17
tahun, Juna termasuk anak berandalan, ia pernah membuat sebuah geng yang
bernama Bad Bones. Dengan mengendarai
Harley, mereka ngebut dan tidak peduli kemanapun mereka pergi. Diculik,
disiksa, overdosis dan hampir ditembak di kepala sudah pernah dirasakan Juna.
Merokok dan terjerumus dalam narkoba juga pernah.
Lulus dari SMA 3 Denpasar, Juna sempat
kuliah di Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti, Jakarta. Tapi tidak sampai
lulus.
“Saya
pernah kuliah teknik perminyakan selama 3,5 tahun di Indonesia, tapi nggak
selesai karena saya terlalu nakal. Akhirnya saya memutuskan untuk membenahi
hidup, berubah, dan pindah ke Amerika. Saya sampai menjual motor kesayangan
untuk biaya sekolah di sana”
Setelah memutuskan
pindah ke Bronsville, Texas, Amerika Serikat pada tahun 1997, Juna mengikuti
sekolah penerbangan. Chef Juna telah
mendapat lisensi pilot, tapi ditengah mengambil lisensi komersial, sekolah
penerbangannya bangkrut. Akhirnya ia pergi ke Houston untuk melanjutkan
pelatihan. Awal 1998 disaat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi di tambah
dengan kerusuhan besar-besaran pasa saat itu, orangtua nya pun tidak sanggup membantu
keuangannya di luar negeri. Juna
diminta membiayai hidupnya sendiri di Amerika. Kondisi tersebut mengharuskan ia
mencari kerja walau secara ilegal (belum mendapatkan ijin kerja).
"Enam bulan berikutnya kami
harus mencari tempat tinggal karena ternyata saya sudah tinggal lebih dari enam
bulan. Kami tinggal satu apartemen kecil berdelapan. Pernah mau makan saja saya
nyari koin-koinan. Beli burger sandwich yang harganya 99
sen. Gembel parah, deh, pokoknya!"
Awal Menjadi Chef
Setelah
mencoba beberapa jenis pekerjaan, Juna akhirnya bertahan dengan bekerja di sebuah restoran Jepang.
Mulanya, ia bekerja sebagai waiter,
tetapi setelah dua minggu, chef di
restoran tersebut menawarinya belajar memasak. Juna dididik dengan sangat
keras. Selama berbulan-bulan ia hanya diberi tugas memasak nasi, mengupas
udang, dan pekerjaan sejenisnya.
"Dulu motivasi saya
terdorong oleh rasa takut. Soalnya, hanya restoran kecil yang berani membayar
orang-orang ilegal. Saya takut kehilangan pekerjaan itu karena saya
membutuhkannya. Saya takut mendapat punishment.
Saya khawatir bahu saya ditepuk dari belakang karena ditepuk berarti ada
pekerjaan yang salah," kenangnya.
Lama-kelamaan,
kepercayaan dirinya mulai muncul. Juna yang awalnya merasa tak punya keahlian
apa pun ternyata mampu belajar lebih cepat daripada teman-temannya. Ketika
pundaknya ditepuk, hal itu bukan karena ia melakukan kesalahan, melainkan
karena hasil kerjanya memuaskan. Kemampuannya untuk cepat belajar dan
determinasinya ternyata membuat chef tersebut
terkesan. Dalam waktu kurang lebih dua tahun, posisinya yang semula di tim cooks (juru masak) kemudian
dipercaya sebagai chef.
Dari sinilah namanya mulai dikenal di Amerika.
Karir Sebagai Chef
Pada tahun 2002, Chef Juna mengambil alih sebagai head
chef (kepala koki) di restoran karena sushi master yang melatih Chef Juna ini
pindah ke restoran lain. Di tahun 2003, ia pindah kerja ke restoran sushi nomor
satu di Houston yang bernama Uptown Sushi. Setelah beberapa bulan, ia menjadi
Executive Chef disana. Masuk ke tahun 2004, Chef Juna mulai jenuh dengan
masakan Jepang, dan akhirnya ia pindah ke restoran Perancis, The French Laundry yang dikenal sebagai restoran yang
menerapkan standar tinggi. Ia mulai dari awal lagi. Lalu, ia juga mencari
pekerjaan di tempat lain agar dapat belajar lebih banyak.
Di French
Laundry, ada
hukuman bagi yang melakukan kesalahan walau kesalahan sederhana. Mereka dilatih
dengan baik dan disiplin yang diterapkan seperti militer. Disana Chef Juna
belajar banyak teknik, mengontrol protein pada makanan, dan menciptakan makanan
yang dihias cantik dan sangat enak. Tidak heran pada waktu Chef Juna menilai
peserta Master Chef Indonesia sangat galak. Galaknya pasti keluar kalau liat
makanan yang dihias berantakan dan rasanya hambar. Wajar, koki ganteng tapi
sangar ini sangat berpengalaman.
Keras dan disiplin
Pria yang suka
memasak itu seksi! Begitu kata sebagian besar perempuan (apalagi kalau mereka
sendiri tak bisa memasak). Umumnya perempuan lantas membayangkan bagaimana
romantisnya sebuah kencan ketika dilakukan di rumah, dimana laki-laki
menyiapkan hidangan sementara perempuan menata meja dan ruangan dengan lilin
dan bunga-bungaan. Tetapi, jangan bayangkan suasana seperti ini akan terjadi
bila Anda memiliki pasangan seorang chef.
“Profesi chef menurut saya sangat membutuhkan
dedikasi. Saya sendiri bekerja dari pukul 08.00 sampai pukul 02.00 dini hari.
Chef tak memiliki hari libur. Sebab pada hari-hari libur mereka justru harus
bekerja, karena pada hari-hari libur orang-orang justru sering bersantap di
restoran. Jangan harap pula untuk bisa bermesraan dengan chef pada hari
Valentine, karena itulah salah satu malam tersibuk dalam kehidupan seorang
chef. Bila tak memiliki kemauan keras, tak mungkin seseorang sanggup menjalani
profesi ini”
Chef Juna mengatakan, padatnya jam
kerja seorang chef membuat hubungan
pernikahan atau percintaan mereka bubar.
"Karena kami tak pernah ada untuk
mereka, kami selalu bekerja. Mungkin kalau posisinya sudah top sekali, baru
bisa santai. Tetapi untuk mencapai posisi atas itu, butuh kerja keras. Selama
13 tahun menjadi chef di Amerika, saya cuma pernah datang ke 1 kali acara
undangan ulang tahun teman. Begitu juga pada upacara pernikahan teman,
seringkali kami tidak bisa hadir karena mereka mengadakannya di akhir minggu,”
Begitulah
seorang Chef Professional. Memasak
bagi mereka adalah seni tersendiri.
“Memasak adalah suatu yang Anda cintai
ketika anda berada di dapur, dan itu bukan hanya sekedar pekerjaan. Itu adalah
sebuah gairah dan pekerjaan yang sulit. Saya suka memasak karena saya menilai
masak sebagai seni. Ketika saya membuat hidangan baru, itu seperti telah
selesai sebuah proyek seni. Berjuang untuk kesempurnaan membuat masakan yang
lezat dengan bahan berbagai warna dan terlihat cantik di piring. Setiap malam
saya memasak di dapur, terutama malam yang super sibuk, saya merasa bahwa
prestasi saya tercapai karena saya membuat pelanggan kenyang, senang dan
memberikan mereka pengalaman bersantap yang hebat. Saya juga suka suasana dapur
yang sibuk, suara panci panas saat bahan masakan dimasukkan, suara peralatan
masak, orang-orang berkomunikasi satu sama lain tentang apa yang mereka
lakukan, semua itu seperti musik di telinga saya”
Ya,
itu tadi profile singkat yang saya
katakan di awal keduanya sangat berbeda dalam menjalani profesi yang telah
ditekuninya. Ada yang merupakan panggilan atau passion. Namun ada yang karena kondisi awalnya menuntut untuk survive sehingga kerja keras atau “hardworking” adalah keharusan. Namun satu
hal yang pasti keduanya mesti saling seimbang agar suatu hal yang bisa
dikatakan cita-cita dapat terwujud.
Bagaimana
dengan Anda?
Sumber : Kompas online dan berbagai sumber lain dengan perubahan seperlunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar