22 Agustus 2012

Passion or Hardworking?


“Profesi yang digeluti seseorang seringkali bukanlah cita-cita yang Ia idamkan sejak kecil”

Sepengal kalimat di atas terkesan kejam, namun ini merupakan realita yang sudah umum terjadi dimasa sekarang ini. Jika kita mengingat kembali di usia anak-anak baik di sekolah maupun dilingkungan keluarga, orangtua atau guru sering bertanya kepada kita untuk melontarkan apa yang menjadi cita-cita kita. Ada yang berkeinginan menjadi dokter, insinyur, pengusaha, tentara, bahkan presiden dan sebagainya. Namun seiring dengan bertambahnya usia (beranjak remaja dan dewasa) bagaimana dengan impian mereka? Apakah cita-cita itu tetap konsisten?


Seiring dengan bertambahnya usia, semakin luasnya wawasan dan ilmu yang diperoleh, serta realita yang dihadapi, cita-cita pun bergeser. Berbagai profesi lain telah hadir dalam keseharian mereka, seperti perancang busana, pemain band, desainer, bahkan VJ (Video Jockey).

Cita-cita biasanya muncul dari ketertarikan atau minat akan sesuatu. Namun tidak cukup sebatas tertarik saja, ada beberapa faktor lain agar cita-cita ini dapat terwujud, salah satunya yaitu bakat yang kemudian menjadikan profesi tersebut sebagai passion atau “panggilan jiwa”. 

Jadi apakah seseorang yang memiliki cita-cita dan sesuai dengan bakat yang dimilikinya otomatis akan sukses meraih cita-citanya? Jawabanya tentu saja “TIDAK”

Anda sedang bercanda??? 

Hahaha…tentu saja saya sangat serius dan jawabannya tetap “TIDAK”

Kalau begitu apa masih ada lagi faktor lain? Sangat banyak sekali dan tidak mungkin untuk menguraikan semuanya pada satu artikel. Namun salah satunya adalah “Kerja Keras” atau “Hardworking”. 

Anehnya tidak sedikit pula dari antara sekian banyak orang yang menurut hemat saya pasti memiliki bakatnya masing-masing justru menjadi mahir bahkan ahli dalam bidang yang sebelumnya “bukan” menjadi cita-citanya sejak kecil. 

Seperti kata Thomas Alfa Edison, yang merupakan ilmuwan dengan hasil temuan paling banyak, mengatakan keberhasilan adalah 1% bakat, dan sisanya 99% kerja keras. 

Bagaimana bisa? Apa yang menyebabkan itu terjadi? dan bagaimana? Pada artikel ini saya akan memberikan dua contoh profile yang sangat bertolak belakang ketika mereka menekuni bidang yang menjadi profesi mereka sekarang. 

Musisi?, atlet?, komedian? atau barangkali pengusaha?

Itu sih sudah biasa. Sudah terlalu banyak diangkat ke media cetak dan eletronik.

Jadi siapakah mereka?

1. Ralph Tampubolon (News Presenter)

Ralph Tampubolon, bersama istri dan anak tercinta (kanan)

“Saya menyukai pekerjaan ini karena minat saya ke sana, jadi mengerjakannya pun dengan semangat”.

Pria berdarah Batak, berwajah tampan, suara berat dan fasih berbahasa Inggris ini tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang selalu update dengan yang namanya berita, baik dalam maupun luar negeri. Insinyur ini rupanya lebih memilih kerja di broadcasting, dibandingkan mengamalkan ilmu yang didapat saat awal kuliahnya.

Masa Kecil

Ralph Tampubolon lahir di Jakarta, 24 Januari 1975. Nama Ralph sendiri diambil dari Ralph Buche, tokoh HAM yang vokal dan sempat mendapatkan nobel perdamaian. Walupun lahir di Indonesia, pada usia 3 bulan ia dibawa orangtuanya ke Boston, Amerika Serikat, karena ayahnya Hasudungan Tampubolon mengambil gelar doktor di Boston. Selama 5 tahun ia bersama keluarga tinggal disana. Ralph mengaku justru ketika kembali ke Indonesia, ia malah belajar Bahasa Indonesia, terbalik dengan kebanyakan anak Indonesia pada umumnya.

Masa Remaja

Ketika menginjak bangku SMA, Ralph mengambil jurusan Fisika. Kemudian sang ayah memintanya mengambil Fakultas Teknik dan pada tahun 1993 ia di terima di Universitas Indonesia (UI). Namun yang terjadi ia merasa tidak betah di perkuliahan yang sedang dijalani.

“Ternyata setelah dijalani, di semester 4-5 saya mulai merasakan kayaknya bukan di situ bidangnya. Di tengah jalan tersebut, saya punya teman yang kerja di radio. Menurut dia, suara saya cocok jadi penyiar. Saya pikir, kenapa tidak dicoba. Sebelum siaran ada training, meski sebentar. Saya mengikuti super diklat dengan melakukan simulasi di belakang perangkat siar selama 10 hari. Akhirnya saya diterima. Hitung-hitung kerja sampingan karena masih kuliah. Kerjaan saya waktu itu lebih banyak ke musik, memutar lagu yang diinginkan pendengar. Orangtua sempat menasihati jangan terlalu sibuk jadi penyiar radio. Pokoknya harus bisa jaga keseimbangan antara kerja sampingan dan kuliah. Untunglah bisa selesai dua-duanya”.

Perjalanan Karier

Setelah lulus kuliah Desember 1998. Ralph pun melanjutkan studinya di Thailand mengambil jurusan yang ia minati yaitu Ilmu Komunikasi.

“Sebenarnya pengen sekolah di Amerika. Tapi terbentur krismon yang biayanya pasti membengkak. Kebetulan, Papa ditugaskan di Bangkok dua tahun. Bersamaan itu, saya mendapat info ada Universitas yang pusatnya di Amerika tapi buka cabang di Thailand. Ditambah lagi ada program S2 Komunikasi Media dengan biayanya lebih murah dibanding ke Amerika”.

Saat masih kuliah dan menyelesaikan studi S2 pada tahun 2000. Ralph juga tertarik di dunia perfilman. Ia banyak menonton film dan kebetulan dipelajari pada mata perkuliahan. Ia pun melamar ke beberapa sekolah dan diterima di Boston selama satu tahun.

“Di sana saya belajar penulisan naskah dan dasar-dasar akting. Saya senang semi ekperimental, kalau ada minat, kok, enggak dijalani. Tahun 2002-2003 saya pulang ke Jakarta. Saat itu pergerakan film baru dimulai. Sementara dunia broadcast sedang bagus karena banyak stasiun teve berdiri, salah satunya Metro TV. Ke sanalah saya mengejarnya, karena di sisi penyiaran, kan, ada sisi pembuatan naskah juga”.
  
Menjadi News Presenter

Ternyata tidak segampang yang diperkirakan. Ralph pun tidak terhitung sudah beberapa kali mengajukan lamaran ke Metro TV tetapi belum juga di panggil dalam kurun waktu 1-2 tahun. Justru pertama sekali pengalaman menjadi pembawa acara berita bermula ketika bekerja di TVRI.  

“Itu pengalaman yang menarik bagi saya. Tapi, lagi-lagi niatnya enggak mau terlalu lama di sana, tetap pengen coba di teve swasta. Syukurlah, akhirnya saya diterima di Metro TV awal 2006 sampai sekarang”

“Saya enggak langsung siaran, tapi digembleng dulu di belakang layar melihat bagaimana proses produksi sebuah tayangan berjalan. Saya belajar mulai dari pencarian berita sampai diudarakan, penulisan, peliputan, supervisi editing, membantu produser di ruang kontrol, pada saat eksekusi program saya harus tahu. Jadi, tidak dibiarkan hanya duduk manis, tanpa tahu bagaimana jerih payah teman-teman lain yang bekerja. Karena kalau enggak belajar kita cenderung jadi egois, banyak menuntut, tidak menghargai pekerjaan orang lain, kita direndahkan secara hati bahwa proses ini tidak gampang. Jadi, kalau lagi siaran tiba-tiba ada naskah yang salah, saya lebih bisa memaklumi karena tahu apa yang terjadi di atas, kekurangan dan kelebihan kita apa”.

“Setelah 6 bulan di belakang layar, saya baru siaran. Program pertama yang dipegang Metro Malam dan Headline News dini hari. Karena minatnya besar ditambah sering melek malam, suka begadang, jadi kebawa saat siaran, ya sudah klop. Meski kadang jam 4 pagi suka ngantuk, ya ditahan saja”.

Mendapat kritik? 

Itu sudah pasti. 

Seorang Ralph tampubolon yang sekarang dikenal dengan salah satu news presenter top di Indonesia tidak pernah lepas dari  yang namanya kritikan. Justru ia menganggap kritikan sebagai bentuk perhatian masyarakat terhadap dirinya untuk menjadi lebih baik.

“Pemirsa pernah mengritik cara bicara saya di depan teve, seperti berkumur-kumur hingga tidak jelas bicaranya. Bagi saya kritikan dan pujian diterima dengan lapang dada dan seimbang. Prinsip saya, tidak mungkin saya bisa menyenangkan semua orang, semaksimal apapun berusaha, pasti ada saja orang yang enggak suka dengan saya”.

“Pernah juga saya dikiritik karena pakai celana yang “salah”. Saya pakai celana darurat yang di bawahnya masih ada lipatan. Langsung, lho, dikomentari. Tapi saya terima dengan positif, artinya saya masih diperhatikan orang, kan!?”


2. Junior Rorimpandey (Chef)

Junior Rorimpandey "Chef Juna", ketika sedang di dapur yang lebih senang ia sebut "laboratorium" (kanan)


“Kalau saya boleh bicara, memasak bukan “passion” saya. Itu adalah pilihan “dead end” saya di awal karier. Kalau ditanya apa passion” saya, ya saya lebih suka mengurus Harley Davidson,"

Wajah ganteng namun terkesan sangar, pembawaan cuek, rambut spike, lengan penuh tato dan menunggang motor gede. Kedengarannya lebih dekat dengan sosok brandalan atau preman, namun siapa sangka pemuda yang saya maksudkan adalah seorang koki atau nama lainya adalah chef.

Junior Rorimpandey atau yang lebih dikenal dengan sebutan chef Juna merupakan salah satu chef yang cukup di segani di beberapa restoran Amerika bahkan pernah menjabat sebagai Executive Chef. Di Indonesia sendiri ia mengelola sebuah restoran ternama di Jakarta yaitu Jackrabbit, walaupun akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatan yang sama. 

Masyarakat umum mengenalnya melalui sebuah kompetisi bernama Master Chef. Ia merupakan salah satu juri (chef master) yang menilai kelayakan masakan dari setiap kontestan.

Juna tak pernah bermimpi menjadi chef seperti sekarang. Ia bahkan bukan chef  lulusan sekolah kuliner atau sekolah chef seperti yang banyak dilakukan chef muda saat ini. Aktivitasnya dulu pun jauh dari urusan masak-memasak. Passion-nya saat itu (bahkan hingga sekarang) adalah motor Harley Davidson-nya.

Masa Remaja 

Junior Rorimpandey lahir di Manado, 20 Juli 1975. Masa remajanya bisa dikatakan sangat brutal dan kelam. Di kedua lengan Chef Juna ini bertato. Tato itu dibuat waktu Juna umur 15 di Bali, dengan menggunakan mesin buatan sendiri yang menggunakan jarum jahit.

Waktu berumur 17 tahun, Juna termasuk anak berandalan, ia pernah membuat sebuah geng yang bernama Bad Bones. Dengan mengendarai Harley, mereka ngebut dan tidak peduli kemanapun mereka pergi. Diculik, disiksa, overdosis dan hampir ditembak di kepala sudah pernah dirasakan Juna. Merokok dan terjerumus dalam narkoba juga pernah. 

Lulus dari SMA 3 Denpasar, Juna sempat kuliah di Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti, Jakarta. Tapi tidak sampai lulus. 

“Saya pernah kuliah teknik perminyakan selama 3,5 tahun di Indonesia, tapi nggak selesai karena saya terlalu nakal. Akhirnya saya memutuskan untuk membenahi hidup, berubah, dan pindah ke Amerika. Saya sampai menjual motor kesayangan untuk biaya sekolah di sana”

Setelah memutuskan pindah ke Bronsville, Texas, Amerika Serikat pada tahun 1997, Juna mengikuti sekolah penerbangan. Chef Juna telah mendapat lisensi pilot, tapi ditengah mengambil lisensi komersial, sekolah penerbangannya bangkrut. Akhirnya ia pergi ke Houston untuk melanjutkan pelatihan. Awal 1998 disaat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi di tambah dengan kerusuhan besar-besaran pasa saat itu, orangtua nya pun tidak sanggup membantu keuangannya di luar negeri. Juna diminta membiayai hidupnya sendiri di Amerika. Kondisi tersebut mengharuskan ia mencari kerja walau secara ilegal (belum mendapatkan ijin kerja).

"Enam bulan berikutnya kami harus mencari tempat tinggal karena ternyata saya sudah tinggal lebih dari enam bulan. Kami tinggal satu apartemen kecil berdelapan. Pernah mau makan saja saya nyari koin-koinan. Beli burger sandwich yang harganya 99 sen. Gembel parah, deh, pokoknya!"
Awal Menjadi Chef

Setelah mencoba beberapa jenis pekerjaan, Juna akhirnya bertahan dengan bekerja di sebuah restoran Jepang. Mulanya, ia bekerja sebagai waiter, tetapi setelah dua minggu, chef di restoran tersebut menawarinya belajar memasak. Juna dididik dengan sangat keras. Selama berbulan-bulan ia hanya diberi tugas memasak nasi, mengupas udang, dan pekerjaan sejenisnya.

"Dulu motivasi saya terdorong oleh rasa takut. Soalnya, hanya restoran kecil yang berani membayar orang-orang ilegal. Saya takut kehilangan pekerjaan itu karena saya membutuhkannya. Saya takut mendapat punishment. Saya khawatir bahu saya ditepuk dari belakang karena ditepuk berarti ada pekerjaan yang salah," kenangnya.

Lama-kelamaan, kepercayaan dirinya mulai muncul. Juna yang awalnya merasa tak punya keahlian apa pun ternyata mampu belajar lebih cepat daripada teman-temannya. Ketika pundaknya ditepuk, hal itu bukan karena ia melakukan kesalahan, melainkan karena hasil kerjanya memuaskan. Kemampuannya untuk cepat belajar dan determinasinya ternyata membuat chef tersebut terkesan. Dalam waktu kurang lebih dua tahun, posisinya yang semula di tim cooks (juru masak) kemudian dipercaya sebagai chef. Dari sinilah namanya mulai dikenal di Amerika.

Karir Sebagai Chef

Pada tahun 2002, Chef Juna mengambil alih sebagai head chef (kepala koki) di restoran karena sushi master yang melatih Chef Juna ini pindah ke restoran lain. Di tahun 2003, ia pindah kerja ke restoran sushi nomor satu di Houston yang bernama Uptown Sushi. Setelah beberapa bulan, ia menjadi Executive Chef disana. Masuk ke tahun 2004, Chef Juna mulai jenuh dengan masakan Jepang, dan akhirnya ia pindah ke restoran Perancis, The French Laundry yang dikenal sebagai restoran yang menerapkan standar tinggi. Ia mulai dari awal lagi. Lalu, ia juga mencari pekerjaan di tempat lain agar dapat belajar lebih banyak.

Di French Laundry, ada hukuman bagi yang melakukan kesalahan walau kesalahan sederhana. Mereka dilatih dengan baik dan disiplin yang diterapkan seperti militer. Disana Chef Juna belajar banyak teknik, mengontrol protein pada makanan, dan menciptakan makanan yang dihias cantik dan sangat enak. Tidak heran pada waktu Chef Juna menilai peserta Master Chef Indonesia sangat galak. Galaknya pasti keluar kalau liat makanan yang dihias berantakan dan rasanya hambar. Wajar, koki ganteng tapi sangar ini sangat berpengalaman.



Keras dan disiplin
Pria yang suka memasak itu seksi! Begitu kata sebagian besar perempuan (apalagi kalau mereka sendiri tak bisa memasak). Umumnya perempuan lantas membayangkan bagaimana romantisnya sebuah kencan ketika dilakukan di rumah, dimana laki-laki menyiapkan hidangan sementara perempuan menata meja dan ruangan dengan lilin dan bunga-bungaan. Tetapi, jangan bayangkan suasana seperti ini akan terjadi bila Anda memiliki pasangan seorang chef.
“Profesi chef menurut saya sangat membutuhkan dedikasi. Saya sendiri bekerja dari pukul 08.00 sampai pukul 02.00 dini hari. Chef tak memiliki hari libur. Sebab pada hari-hari libur mereka justru harus bekerja, karena pada hari-hari libur orang-orang justru sering bersantap di restoran. Jangan harap pula untuk bisa bermesraan dengan chef pada hari Valentine, karena itulah salah satu malam tersibuk dalam kehidupan seorang chef. Bila tak memiliki kemauan keras, tak mungkin seseorang sanggup menjalani profesi ini”

Chef Juna mengatakan, padatnya jam kerja seorang chef membuat hubungan pernikahan atau percintaan mereka bubar.
"Karena kami  tak pernah ada untuk mereka, kami selalu bekerja. Mungkin kalau posisinya sudah top sekali, baru bisa santai. Tetapi untuk mencapai posisi atas itu, butuh kerja keras. Selama 13 tahun menjadi chef di Amerika, saya cuma pernah datang ke 1 kali acara undangan ulang tahun teman. Begitu juga pada upacara pernikahan teman, seringkali kami tidak bisa hadir karena mereka mengadakannya di akhir minggu,”
Begitulah seorang Chef Professional. Memasak bagi mereka adalah seni tersendiri.
“Memasak adalah suatu yang Anda cintai ketika anda berada di dapur, dan itu bukan hanya sekedar pekerjaan. Itu adalah sebuah gairah dan pekerjaan yang sulit. Saya suka memasak karena saya menilai masak sebagai seni. Ketika saya membuat hidangan baru, itu seperti telah selesai sebuah proyek seni. Berjuang untuk kesempurnaan membuat masakan yang lezat dengan bahan berbagai warna dan terlihat cantik di piring. Setiap malam saya memasak di dapur, terutama malam yang super sibuk, saya merasa bahwa prestasi saya tercapai karena saya membuat pelanggan kenyang, senang dan memberikan mereka pengalaman bersantap yang hebat. Saya juga suka suasana dapur yang sibuk, suara panci panas saat bahan masakan dimasukkan, suara peralatan masak, orang-orang berkomunikasi satu sama lain tentang apa yang mereka lakukan, semua itu seperti musik di telinga saya”

Ya, itu tadi profile singkat yang saya katakan di awal keduanya sangat berbeda dalam menjalani profesi yang telah ditekuninya. Ada yang merupakan panggilan atau passion. Namun ada yang karena kondisi awalnya menuntut untuk survive sehingga kerja keras atau “hardworking” adalah keharusan. Namun satu hal yang pasti keduanya mesti saling seimbang agar suatu hal yang bisa dikatakan cita-cita dapat terwujud.
Bagaimana dengan Anda?
Sumber : Kompas online dan berbagai sumber lain dengan perubahan seperlunya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar