Pada umumnya, komunitas Batak menyandang apa yang disebut “marga”, yang dipakai sebagai identitas pribadi atau kelompok. Biasanya, marga tersebut diucapkan ketika memperkenalkan diri, misalnya Situmeang, bukan nama kecil, Doangsa. Itulah tradisi etis orang Batak. Mengapa gerangan demikian?
Jawabnya: pada hakekatnya, orang Batak itu terikat oleh kekerabatan, dan bersumber dari kesamaan marga (Sabutuha-Pasolhoton) dan persinggungan marga (Mar-Hula/Mar-Boru-Partondangon) melalui pernikahan. Dengan kata lain marga merupakan simpul pengikat soldaritas yang sudah memandu (implanted) dalam kehidupan masyarakat Batak.
Jawabnya: pada hakekatnya, orang Batak itu terikat oleh kekerabatan, dan bersumber dari kesamaan marga (Sabutuha-Pasolhoton) dan persinggungan marga (Mar-Hula/Mar-Boru-Partondangon) melalui pernikahan. Dengan kata lain marga merupakan simpul pengikat soldaritas yang sudah memandu (implanted) dalam kehidupan masyarakat Batak.
Pertama sekali, marga itu muncul pada generasi ketiga, sejak eksistensi orang Batak, yang dirujuk kepada Silsilah Si Raja Batak, yakni: Limbong, Sagala dan Malau. Ketiganya merupakan marga tertua orang batak. Berasal dari nama pribadi, yaitu Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Kemudia marga itu dimekarkan pada generasi selanjutnya. Pembentukan marga dimaksudkan sebagai pembedaan (distinction) diantara keluarga yang satu dengan yang lain, yang kemudian diperluas diantara marga dengan marga. Jadi, pemberlakuan Hukum Marga tidak boleh dianggap sebagai pemisahan (separation).
Marga suku Batak itu khas dan unique, karena dipakai dari generasi ke generasi dan tidak terputus, kecuali marga baru ditumbuhkan . Marga tidak sama dengan pengertian “Faam” atau “Surename” orang Barat. Se-marga bermakna sama dengan sedarah karena diturunkan oleh leluhur pemersatu, yang dapat diibaratkan sebagai “proklamator” marga. Dengan kata lain, sebuah Marga adalah “dominion” tradisional etnis. Dengan demikian, setiap orang batak yang satu marga , dituntut untuk mengetahui nomor generasinya, agar dapat memilih kata panggilan kekerabatan (hata tutur) yang tepat bagi dirinya, misalnya: Kakek (Ompung), Bapa (Amang), Putra (Anak), Abang/Adik (Haha/Anggi) atau Cucu (Pahompu) terhadap lawan bicara. Tujuannya agar kesantunan dalam tegur sapa menurut jenjang kekerabatan orang Batak, tetap terjamin dan langgeng. Terhadap marga lain ditelusuri melalui marga pihak istri, ibu atau nenek, hingga ditemukan kata panggilan kekerabatan yang tepat, baik dalam posisi Hula-hula atau posisi Boru. Misalnya, Tulang, Tunggane, Amangboru, Lae, dsb. Unsur ketetapan atau presisi, telah dipadukan dalam setiap panggilan kekerabatan tersebut.
Marga Batak itu ratusan bilangannya. Kendati demikian, semuanya telah dibagi dalam lima induk marga, dan masing-masing menurunkan banyak marga. Boleh dikatakan marga itu “beranak”, “bercucu” dan “berbuyut”, sama seperti manusianya. Dengan adanya induk Marga sebagai pemilah, maka daerah asal marga mudah ditelusuri. Lagipula pembagian wilayah asal marga juga sudah menyatu dan pasti.
Sumber :
Doangsa PL.Situmeang: Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar